Merekam budaya Warekma lewat film dokumenter etnografi
admin web | 01 Agustus 2025 | Dibaca 160 kali |

Pemutaran film dokumenter Warekma karya Miki Wuka, Mahasiswa ISBI Tanah Papua di Kediaman Indonesia Art Movement, Entrop, Kota Jayapura, Papua, Kamis (31/7/2025) malam.

Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia, Miki Wuka membuat film dokumenter etnografi berjudul Warekma.

Karya itu ditayangkan di kediaman Indonesia Art Movement, Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, Kamis (31/7/2025) malam.

Film dokumenter itu merupakan karya pertama yang dibuat oleh mahasiswa ISBI Tanah Papua, sebagai bagian dari tugas akhir mereka.

Film dokumenter etnografi Warekma yang berdurasi sekitar 53 menit itu, merupakan kolase video yang dikumpulkan mulai 2015 hingga 2023, dan menggambarkan prosesi pembakaran jenazah Suku Hubula di Lembah Baliem, Kabupaten Jawijaya, Papua Pegunungan.

Sebelum film Warekma ditayangkan, Miki Wuka menyapa para audiens dengan penampilan unik. Ia menggunakan mahkota bulu kasuari, koteka, noken, dan tubuh yang dibaluti lumpur. Katanya, itu merupakan simbol kedukaan.

“Biasanya kalau kami [di Papua Pegunungan] memakai kostum adat dengan berbagai aksesoris seperti kalung atau  gelang, tetapi hari ini saya hanya aksesoris sederhana dan badan yang dilumuri lumpur,” kata Miki Wuka.

Dalam pemutaran dan pameran film Warekma, ada satu hal menarik yang menjelaskan terkait nilai kepercayaan masyarakat lokal, yaitu asap pembakaran.

Asap pembakaran yang naik lurus menandakan bahwa ritual itu sah, artinya orang itu selama hidup tidak dosa atau kesalahan.

“Tapi kalau ada asap yang putar saja, tidak naik lurus, terus asapnya bau. Kemudian [ada] sisa-sisa tulang rahang dan tengkorak [yang] masih ditemukan di  tempat pembakaran, berarti arwah itu masih bermasalah, upacara pembakaran itu tidak sah dan kematiannya tidak resmi,” ujarnya.

Miki Wuka mengutarakan alasan membuat karya film itu berawal dari penyesalan yang tidak sempat melihat wajah bapaknya.

Oleh karena itu, Miki merekam sejumlah aktivitas termasuk upacara adat pemakaman itu untuk menekankan pentingnya pengarsipan budaya. Hal itu bertujuan mengedukasi dan memotivasi generasi muda untuk berkarya.

“Karena kami punya tradisi prosesi pemakaman [jenazah] adalah [dengan cara] dibakar. Sehingga, tidak ada bentuk fisik baik nama atau peninggalan [nisan dan makam] juga anak babi khusus yang ditandai buat [bapak] yang kami [bisa] lihat,” ucapnya.

“Nah itu memang saya mengakui kelemahannya, mungkin saat itu media-media belum ada yang bisa mengarsipkan. Sekarang ini, sudah ada kamera yang menjadi perekam yang kuat untuk pengarsipan itu,” katanya lagi

Apalagi, lanjut Miki, prosesi itu sakral. Jadi, tidak boleh direkam oleh orang luar, hanya keluarga saja yang boleh. Untuk merekam prosesi itu pun, Miki meminta izin secara adat agar arwah-arwah para leluhurnya itu mendukungnya menyelesaikan film itu sebagai tugas akhir.

“Jadi saya tidak hanya merekam, tapi terlibat langsung di dalam [Warekma] karena yang meninggal itu adalah kakak kandung pertama dan kedua saya. Makanya dalam film itu kan ada yang saya bayar. Saya minta maaf kalau saya salah. Tujuan saya menyebut nama arwah-arwah leluhur-leluhur saya ini untuk tugas akhir bisa [berjalan] tanpa hambatan,” ujarnya.

Dosen pembimbing, Muhammad Ilham M. Murda, ST, MSn mengatakan melihat sejumlah potensi yang ada pada mahasiswanya itu. Iam, sapaan akrabnya, mengingat perjuangan Miki Wuka menjadikan seni bagian pilihan hidupnya. Film ini proses Miki berkarya dengan alat sederhana

“Saya mengapresiasi bahwa Warekma itu dekat dia [Miki] walaupun kematian kita tidak ada yang tahu. Kebiasaan sejak kecil ketika datang ke kampung selalu membawa handphone atau kamera. Jadi, setiap peristiwa yang terjadi di kampung, dia mengabadikan,” kata Ilham M Murda. (*)

https://jubi.id/seni-budaya/2025/merekam-budaya-warekma-lewat-film-dokumenter-etnografi/

BAGIKAN :